19 December 2007

CAHAYA PAGI ITU BERHASIL KULIHAT

Oleh: rYoDiMaS


: untuk D. A. Sujana


/1/

Kau seperti setan jalanan. Setiap sentinya kau

ukur dengan teliti. Setiap kerikil kau cermati.

Setiap debu kau baui. Setiap batu kau tandai.


Kau punya segala alat ukur dan konversi, dari inchi

ke senti; dari senti ke mili. Kau punya segala

lensa, dari zoom satu kali; dua kali; tiga kali; hingga

lima kali. Kau punya setiap sampel debu bau, dari debu

bekas tapak kaki pejabat; perawan cantik yang gamang

akan keperawanannya; sampai kotoran anjing yang

berhasil dibawa oleh lalat kemana-mana. Kau punya

setiap warna pemberi tanda, dari hitam pekat; merah

marah; biru daun; hijau sungguh; sampai abuabu yang ragu.



/2/


“Bang, saat ini malam. Hari ini aku menanti kelahiran anakku.

Istriku sejak aku kecil dia telah hamil. Tapi sampai aku kehilangan

keperjakaan yang berkali-kali; sampai aku mengawini banyak istri.

Dia belum juga berhasil melahirkan.”


“Bang, tadi siang kau datang. Membawa kabar tentang bidan yang baru

saja lulus dari akademi. Kau beri saran, agar aku mengganti dukun itu,

yang tlah berbelasbelas tahun mengurusi kehamilan istriku.”


“Bang, anakku barusan lahir! Sehat dan ganteng seperti ayahnya. Kuberi nama

Siapa yah dia? Aha, tentu kau lebih tahu nama yang bagus. Jumlah anakmu kan

sudah kepala dua. Kau hebat. Semuda ini sudah punya berlusin istri.”


“Bang, anakku memang sehat dan ganteng seperti aku. Tapi, kok dia lahir

prematur yah? Apa karena ilmu bidan yang kau rekomendasi itu belum hebat,

sehingga dia mengeluarkan anakku sebelum waktunya? Atau memang anakku

ditakdirkan begitu?”


“Bang, sekarang sudah mau Subuh. Dari tadi kau diam saja, belum menjawab

satu pun pertanyaanku. Bang, aku sudah ketemu nama yang bagus untuk anakku

ini. Yaitu: Fajar. Yah, seperti saat ini.”


“Bang sekarang sudah pagi. Terima kasih. Sekarang aku akan menikmati hari

bersama istri dan anakku yang baru lahir. Kapan-kapan kalau anakku yang lain

lahir, Abang yang kasih nama yah.”


“Bang sekarang sudah pagi. Kau malah tidur sendiri.”



/3/


Sekarang masih pagi. Seperti aku dan anakku.

Kau mungkin ada di puncak siang. Terik. Atau malah malam. Dingin.


Aku ingin belajar menjadi setan jalanan.

Aku sudah punya alat ukur dan konversi; lensa; sampel debu; dan warna.

Tapi aku belum punya satu hal untuk jadi setan jalanan:

NYALI. Mau pinjamkan aku barang beberapa?



/4/


“Huh, aku memang nggak berbakat jadi setan. Aku jadi malaikat jalanan aja yah?”


/5/


Cahaya pagi itu berhasil kulihat.

Di sudut pantai tempat kau berlabuh, terlihat perahumu diam mengeluh.



Jember, 17 Desember 2007







No comments: