31 December 2008

KAU, SI BURUNG, DAN BELALANG
Oleh: rYoDiMaS


kepada: si mata berkilau pelangi


Malam tadi aku mimpi kau, singgah
di hatiku dalam perjalananmu ke pulau
dewa. Tangan kananku dan tangan kirimu
seolah satu tak kulepas hingga pukul tujuh:
aku terbangun.

Gadis pesolek duduk di samping ranjangku
terbungkus surat melalui banyak sinyal yang
nyangkut di tujuh menara. Dia cerita tadi
malam tidak bisa tidur, sibuk memikirkan
bagaimana bisa lepas dari sangkar. Dia adalah
si burung haDiah malam.

Aku sungguh tak ingin berpisah dengan kau.
Kupejamkan mataku lagi dengan harap kau
masih ada di halaman pertama, menunggu
dalam basah hujan sambil tetap kau pakai
mata kilau palsumu. Tak mengapa, kau lebih
terlihat nyata di kilau mata asliku.

Si burung kembali mengganggu. Kali ini dia
berceloteh tentang sayapnya yang tak bisa
berenang. Lantas dia bermaksud meminjam
sayapku untuk dipakai berenang di air mata.
Kupinjamkan saja. Aku tak tahan dengan
kicaunya yang kadang indah walau lebih sering
terdengar parah, buat kupingku merah.

Tepat sehabis berenang, Si burung kembali
bertengger di tepi ranjangku, sambil berciut.
Ketika kutanya kenapa, dia hanya menjawab
nyalinya sedang ciut. Takut sama belalang si
raja Totok. Dia selalu tak bisa bergerak ketika
ada si belalang. Bukan kendaraan ksatria.

Aku kembali teringat kau. Kucari di kolong
ranjang, di lemari baju kotor, dan di langit-langit
balkon; kau tak juga muncul. Akhirnya aku pun
menyerah, kembali ke ranjang -kali ini tak ada si
burung- sambil membaca petunjuk langit. Aku ragu.
Aku gelisah. Aku tak sabar. Segera saja kubentangkan
sayap ingin kujemput kau di langit.

Benar saja. Kau ada di sana. Hanya empat kata. Empat
kata yang membuat aku jatuh perut bumi yang paling
dalam. Empat kata yang membuat sayapku tak bisa
kukepak: AKU TAK INGIN PULANG.
Kau, si mata berkilau pelangi.


Jember, 30 Oktober 2008

GETAR
Oleh: rYoDiMaS


Kentutku meletus pada malam hantu
Selepas tubuhku menang jibaku
Pukul dua lebih dua
Saat raga berkalang nyawa

Ingat Tuhan, aku selamat
Di dadaku damai tersemat
Tak jadi aku terhanyut sesat
Akibat tali tak terkebat erat

Pintu doa coba kubuka
Lewat zikir kunci pertama
Jadi berpikir teringat dosa
Sikap dan kata meluka mama

Pukul tiga lebih sepuluh
Nyawa tersisa berkumpul penuh
Menunggu cemas panggilan subuh
Sajakku deras senang berlabuh


Bandung, 22 Juli 2008

31 August 2008

KISAH AYAT DAN PUISI

Oleh: rYoDiMaS


Aku sedang membakar tubuhku dengan

percik-percik api yang bertaburan dalam

puisi. Biar saja tak kurasa panasnya, asal

kudapat nyalanya. Cukup untuk membuat

dahiku berkeringat dan peluhku terlihat.


Kemarin lusa sempat aku jalan-jalan

ke hutan gelap. Apa yang kucari tak

lebih dari kunang-kunang yang sering

hinggap di celah kayu kering, bahan

bakar puisi. Sambil sesekali kuamati

sisa-sisa api unggun bekas kata-kata

berkemah malam sebelumnya.


Sampai saat ini masih kutunggu angin

berkabar pada burung yang nyaman

bersangkar di atap pondok hijau, tempat

para maling berjudi dan mabuk-mabukan

siang malam tiada henti bicara sesuatu

tentang demokrasi atau sambal terasi?


Beribu ayat telah kubuat, namun tak satu

pun berbuah kitab. Karena aku hidup di

zaman batu, waktu suhuf-suhuf baru

dibuat pada lembaran daun, yang tentu

saja berwarna hijau, kering termakan usia.


Tapi esok, aku yakin akan bangun melangkahi

abad. Berlayar menyebrangi matahari. Dan,

beribu ayatku hinggap di setiap hati.


Jember, 13 Februari 2008

24 April 2008

MONOLOG PENJUAL MIMPI

Oleh: rYoDiMaS


"Mimpi ini kujual.

Harganya beberapa ribu.

Kau mau beli?"

"Bolehlah ditawar sedikit.

Jangan banyak-banyak.

Karena modalnya memang banyak."

"Beli ya? Karena hari ini dagangan

mimpiku belum ada yang laku."

"Terlalu mahal katamu? Wah, kau

benar-benar pembeli yang ngotot yah."

"Naikkanlah sedikit tawaranmu. Tidak kasihankah

kau? Aku belum makan sedari pagi. Tak punya uang

untuk membeli sebungkus nasi.

“Hei, mau kemana? Janganlah kau pergi dulu. Selesaikan dulu

tawar menawar ini. Jangan kau buru-buru pergi. Tambahkanlah sedikit lagi.”

“Hei..hei... Iya deh. Jadi. Mau beli berapa banyak? Sebiji? Dua biji? Selusin?

Sekarung? Beli yang banyak yah. Karena tak semua penjual punya mimpi seindah ini.”

***

Jadilah kau memborong habis semua mimpi. Tapi belum kau bayar harganya hingga kini.

Mimpimimpi itu malah kau jual lagi ke lain pembeli. Kau dapat untung banyak pundi.

Aku hanya bisa gigit jari. Oh, malangnya aku si penjual mimpi.

Jember, 17 Desember 2007

MISTERI WAKTU

Oleh: rYoDiMaS


ini adalah hari untuk puisi

ketika ragaku bersilat kata

ketika batinku mencari hikmah

antara kebajikan dan jeritan nyawa


Jember, 2007

MARGHRIB
Oleh: rYoDiMaS


/1/

Kayu; semen; genting; besi; bambu; ubin.
Pintu; jendela; atap; lantai; dinding.
Telah mereka rancang sedemikian rupa.
Membentuk sebuah rumah megah.

Di depan persinggahan.

Drum yang terisi air;
pasir yang telah bercampur;
batu-batu yang tersusun rapi;
turut pula masuk ke pandangan.


/2/

Seorang nenek tua lewat,
membawa serantang nasi
atau seperti itulah kiranya.

Sosok duduk di tepi dinding balkon.
Menulis kata. Menikmati oksigen
yang keluar dari sekitar
pepohonan. Di bawah.


/3/

Samar terdengar alunan ayat suci.
Menandakan sebentar lagi malam tiba.
Waktu bergegas.
Membersihkan diri.
Bersiap menghadap Ilahi,
dalam bangunan Ibadah
antara siang dan malam.



Jember, 5 April 2006

19 February 2008

RAHASIA KATA RAHASIA

by: rYoDiMaS


Sampah debu tersapu waktu.

Setetes wangi menyelubungi ruangmu.

Ada medali cermin kebanggaan.

Potret diri bersinar rupawan.


Suara pilu tajam menggema.

Tak peduli lakumu.

“Mereka siapa?” Itu katamu.

Ada nyanyian ilusi tlah kau beri.

Namun menjadi tak indah,

karena kau khianati.


Penyakit lama penyakit hati.

Adakah kau rasa?

Atau tlah lama hilang? kemana dia pergi?


Sinyal alam mengiris setiap sendi.

Menyayat luka menjadi tak terperi.

Pukul berapa? selamat datang, dunia...

Menanti saat itu, mimpi pun terlanjur tiba.


Aku ingin menyalakan malam yang sepi.

Sebuah isyarat di sanalah aku bersembunyi.

Lembaran harapan coba kusampaikan.

Tertelan gelap senandung rindu.


Berpijak di mana aku harus berada?

Ada mata bercahaya, ke situ aku melangkah.

Ingin kubuka semua rahasia.

Tunggu saatnya dan itu bukanlah kini.




Jember, 14 september 2007




MINOR TUJUH

Oleh: rYoDiMaS


Aku ingin meniduri nada.

Lelappanjang lepas kantukku.

Lewat frasa-frasa birama.

Mengarung bebas minor tujuh jelajahnya.

Aneh sedih seperti kebanyakan kita.

Jarang terdengar. Sedikit tahu sedikit guna.

Seperti kita.

Asing mendengar nyanyian sendiri.

Tersihir lagukitasamamengerti.

Tergayut amanmerdu.

Tergerus indahyangsamarasa.


Jember, 11 Desember 2007




12 February 2008

SABTU MALAM
Oleh: rYoDiMaS


Seorang pesohor sederhana menada bulan
Pedagang muda ramah menyapa mata
Gadis cantik, anggun berkereta
Penganan hangat, lezat menarikan lidah

Lantas? Tak biasa terjadi semasa.
Betapa sabtu malam menjanjikan pesonanya


Jember, 2 Desember 2007

PUKUL TIGA MALAM MENJELANG PAGI

oleh: rYoDiMaS


Suara burung, merdu menjaga malam.

Detik jam terus memaksa berbunyi keluar dari keheningan.

Ada penunggang fajar yang menjemput rezekinya

dengan mengorbankan sedikit haknya yang tidak lazim.

Ada pula gonggongan hewanentahapa

yang menyalak dengan buasnya


Saat dingin menyadarkan tubuh ini.

Mataku tergugah! menatap kosong atas jiwa yang sepi.

Semuanya haruslah segera berakhir saat ini!

Dengan nyanyian serangga, berdenging dengan indah


Menunggu cahaya alam beberapa jam lagi.

Sedikit bingung bagaimana suasana hati.

Ini terlalu larut untuk memulai sebuah mimpi.

Ini terlalu dini untuk memulai sebuah hari


Pukul tiga malam menjelang pagi.

Aku bersuara tapi tak berbunyi.

Bawalah aku hai waktu, kemana pun kau pergi...

Ini tubuhku terhenyak di kasur diri


Jember, 28 juni 2007








12 January 2008

ODE BUAT MURID

Oleh: rYoDiMaS


kepada: Guruguruku


Kalau nanti aku pergi,

kutitipkan tanaman ini

padamu. Pelihara baik-baik.

Jangan lupa disiram setiap hari.

Kalau nanti aku datang kembali,

kuambil tanamannya. Kau boleh

miliki bungabunganya. Kubagikan

buahbuahnya pada temanteman yang

lapar. Lapar buah tangan. Tangan-tangan

dermawan. Demawan yang membagi-bagikan

sedikit rezekinya kepada tangan-tangan. Tangan-tangan

malas yang bahagia dikaruniai kemiskinan. Kemiskinan

berpikir. Karena di negeri kita ini berpikir adalah barang langka.

Tentu siapa yang memilikinya akan menjadi kaya. Kaya akan pemahaman.

Karena merekalah yang bersusah payah mengangkat derajat hidup si miskin

yang malas berpikir. Karena malas disahkan di negeri ini. Setelah habis buahbuah

kubagikan, kupersembahkan bijibijinya untukmu. Bijibiji hybrid yang menghasilkan tanaman

baru. Yang tak susah memeliharanya. Yang banyak bunga-bunganya. Yang banyak

buahbuahnya. Yang banyak bijibijinya. Sehingga ketika kau pergi, ada yang bisa kau titipkan

kepadaku. Ketika nanti siapa tahu aku lupa bagaimana memelihara tanaman. Tanaman ilmu.

Ilmu membuat sepatu. Agar gagah kita berjalan.



Jember, 29 Desember 2007

FEMINIM PAKE KACAMATA PEREMPUAN

Oleh: rYoDiMaS


Musim ini aku rindu kepada aku

yang dulu. Aku si cungo.


Konon, aku dulu melik rupa rupi rungau.

Pangling nursurya, kerlipnya lupa.

Keruan saja aku memerah mata

pakai lipstik tua. Warnanya merah muda.

Jati jatuh. Pada ingat pesan tetua:

“Kamu jangan larut mimpi malam terlalu.”


Aku kini dangkar. Danauku dampit

kendati kencit mengencongkan lafal

Basmalah. Paitua katai aku merenggut

maskulin dari mbakkulin. Padahal aku

cuma sayup memaro peci sama kerudung.




Jember, 8 Januari 2008




Keterangan:

cungo: tukang copet

melik: bernafsu ingin mempunyai

rungau: kurang tidur

jati: identitas

dangkar: dangkal

dampit: kembar laki-laki dan perempuan

kencit: tuyul

mengencongkan: membelokkan

paitua: kata sapaan untuk seorang bapak yang tua

sayup: kurang sedikit lagi sampai

memaro: membagi dua

11 January 2008

KERETA KARYA

Oleh: rYoDiMaS


kepada: mothi ma linho



Kereta kita masih melaju. Di gerbong

ekonomi, aku tertidur pulas di bawah

kursi. Beralas koran minggu, berbantal

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mengigau

sesuatu tentang penyair dan katakata. Tak

lupa kusimpan bulan di pelupuk mataku.

Seperti penabung menanam uang di bank,

berharap memanen bunga mimpi.


Malam-malam tak menyurutkan niat

pengamennafsu memalak penumpang

kere seperti aku. Dengan galak mereka

palak setiap ratus rupiah, seperti nyanyiannya

yang memalak bunga tidur keluar kubur, yang

bingung kembali ke tangkainya, karena telah

terlalu jauh tertiup angin realita.


Kau ada di toilet. Menyirami papan-papan rel

dengan air puisi, membuang hasrat tak berguna.

Sampai habis puisimu kau keluarkan. Sampai

Habis isi perutmu kau keluarkan.


Lalu kau kembali duduk di atas ‘ranjang tidurku’,

berkata “Aku lapar. Aku ingin mengisi perutku

dengan beberapa lembar roti campur. Campuran

mentega prosa dengan selai drama televisi dan mesis

film indie. Biar nanti pas aku kencing yang keluar

tidak lagi melulu air puisi. Tapi air seni.”


Perjalanan kereta kita tinggal separuh. Sampai tujuan

esok pagi baru. Saat nyamuknyamukmalas bosan

dengan kita, mangsa-mangsanya yang pasrah terus

dihisap. Ketika itu, Stasiun Panggung Cahaya berhasil

kita datangi. Selamat buat kita.




Jember, 8 Januari 2008